![]() |
| webneel.com |
![]() |
| Oleh: Purwanto Setiadi |
Saya percaya musik tak pernah mengingatkan kita pada hal-hal buruk. membuat kita mengenang kekeliruan atau kesedihan, ya, mungkin. Tapi, untuk sebagian besar memori yang ada, musik membimbing kita ke kesadaran betapa hidup kita sarat kegembiraan, dilingkupi masa-masa indah, bahkan reminder tentang spiritualitas. Perkataan Bob Marley ini mewakili ekspresi tentang semua itu: “Satu hal baik tentang musik, manakala ia mengenaimu, kau tak merasakan sakit.”
Saya terhubung dengan musik mula-mula dari tiga album rekaman yang saya beli untuk pertama kalinya dengan uang jajan pada 1970-an--“e.c. was here“ (Eric Clapton), “made in japan“ (Deep Purple), dan “wish you were here“ (Pink Floyd). Dari ketiganya, berupa kaset yang diedarkan oleh nirwana dari surabaya, saya sekaligus mengenal musik sebagai wadah bagi rintihan hidup (blues), perayaan maskulinitas dan seksualitas yang terkadang eksesif dan menggelikan (hard rock), serta eksperimentasi tanpa batas apa pun (progressive rock). Tiga aliran ini sebetulnya berada dalam satu garis perkembangan musik “pop”. jika meminjam ungkapan B.B. King, “Blues adalah akarnya, apa saja selain itu adalah buahnya.”
Entah bagi orang lain, tapi saya merasa bersyukur bisa sekaligus mengenal dan jatuh hati kepada tiga aliran yang di antara satu dan yang lain terdapat varian yang sangat beragam itu. Mungkin karenanyalah kuping saya bisa menerima dan mengapresiasi jenis musik apa saja, bahkan yang tergolong “enteng”. ABBA, misalnya; mengenal kuartet pop asal swedia ini dari kaset yang justru lebih sering didengarkan ibu saya, tak ada hal apa pun yang membuat saya berkecil hati karena menyukainya--sebab saya menganggap ada kecerdasan dalam lirik lagu-lagunya, misalnya larik-larik dalam “waterloo“ ini: my my/at waterloo napoleon did surrender/oh yeah/and i have met my destiny in quite a similar way.
Sebelum ketiga album itu, saya sebetulnya sudah mendengarkan musik. hal ini terjadi terutama sejak di rumah hadir sebuah perangkat stereo. Kaset-kaset milik ayah saya menjadi “menu”-nya. Macam-macam. sebagian besar adalah oldies--Matt Monro, Wilson Pickett, The Everly Brothers, Perry Como, dan lain-lain. Tapi tak ada satu pun yang memicu situasi “life-changing experience” dan membuahkan kemanfaatan, sampai saya menjumpai tiga aliran tersebut.
Perihal kegunaan dari varian-varian yang saya sebut tadi mulanya adalah memberi saya pilihan yang tak terbatas--bagaikan palet warna--manakala saya sedang perlu: untuk mengisi waktu luang, menyemangati diri ketika harus merampungkan pekerjaan, sekadar mendapat hiburan, atau menenteramkan suasana hati. Dalam perjalanan waktu, berkat kekayaan khazanah literer, idiom bebunyian, dan bangunan komposisi dalam aneka macam aliran itu, saya sadar musik sanggup menyentuh diri seseorang dalam dimensi yang lebih dalam.
Menyangkut keragaman varian, selama ini saya tak pernah membuat kategori-kategori lagu atau musik yang cocok untuk situasi tertentu. Tapi saya selalu ingat, misalnya, bagaimana “someone saved my life tonight“ meninggalkan kesan karena ia berhubungan dengan satu situasi sulit dalam hidup saya, di masa lalu.
Sedikit cerita tentang lagu yang dirilis sebagai single pada 1975 itu. Elton John menggubahnya setelah mencoba bunuh diri. Suatu hari, pada awal kariernya di akhir 1960-an, karena tertekan harus menikah dengan seorang perempuan, dia membiarkan gas kompor di tempat tinggalnya terbuka. Upayanya gagal. Bernie Taupin, kolaboratornya dalam berkarya, menyelamatkannya. Seorang teman bernama Long John Baldry lalu meyakinkannya untuk membatalkan rencana pernikahan itu dan memilih melanjutkan karier.
Problem saya berbeda. Tapi betapa saya bisa merasakan, kalaupun bukan mengidentifikasikan diri dengan, setiap larik yang dilantunkan...sungguh bagaikan wahyu dari langit. Tak apa-apa berlebihan sedikit. Yang jelas, karena itulah saya jadi sanggup menurunkan beban masalah yang sedang menggelayuti, berdiri tegak, dan melanjutkan hidup.
Tak setiap lagu punya koneksi semacam itu dengan suatu keadaan atau kejadian. Di saat yang lain, untuk problem pribadi yang tak sepenuhnya berbeda, ada lagu lain yang membuat saya merasa tenang. Misalnya “can't find my way home“, yang merupakan salah satu materi dalam album tunggal Blind Faith. Ada banyak tafsir mengenai kandungan liriknya. Tapi saya percaya Steve Winwood, penggubah dan penyanyinya, bermaksud menyampaikan hal ihwal penemuan diri dan upaya mengubah hidup setelah menyadari kekeliruan dalam mengambil pilihan-pilihan buruk.
Dengan begitu banyak alternatif, bagi saya, merupakan konsekuensi yang logis kalau kemudian lirik (temanya, tekniknya, gaya penulisannya, perumpamaan-perumpamaan yang digunakan), melodi, komposisi, dan hal-hal yang berkaitan dengan presentasi karya (instrumentasi, bunyi-bunyian) menjadi semacam gambar yang terus muncul di dalam gambar itu sendiri--dalam ranah seni ini biasa disebut droste effect. Ada dimensi jauh di dalam diri saya yang tergugah berkat kesadaran mengenai unsur-unsur ini dan apresiasi yang timbul karenanya.
Sangat boleh jadi pada setiap orang kejadiannya berbeda. Tapi saya percaya bahwa siapa saja yang secara sadar memerlukan musik dalam hidupnya, dan secara rutin memanfaatkannya untuk melayani berbagai keperluan personalnya, akan mendapatkan pengalaman batin semacam itu. dan sama sekali bukan sakit yang lalu didapat.









No comments:
Post a Comment