Antrean panjang pembeli tiket sempat mewarnai pemutaran film Daun di Atas Bantal garapan sutradara Garin Nugroho di dua sineplek 21, Pondok Indah Mal dan Plaza Senayan, Jakarta. Mungkin kamu termasuk di antara mereka harus kecewa lebih dulu karena kehabisan tiket, sebelum akhirnya sukses juga duduk di dalam gedung dan mendongakkan kepala ke arah layar.
Sukses
pemutaran film Indonesia itu di bioskop bergengsi memang prestasi tak
terdandingi. Banyak yang berpendapat film tentang potret kekerasan terhadap anak-anak jalanan itu bagus. Tapi,
sempatkah kamu, jika memang menontonnya, memperhatikan bukan saja akting hebat
tiga bocah yang hidup dengan segala cara
di Jalan Malioboro, Yogyakarta, tapi juga ilustrasi musik yang dibuat oleh
Djaduk Ferianto?
Djaduk
dan beberapa anak muda ISI Yogyakarta, yang tampil pada pertengahan film dengan
memegang alat musik masing-masing, memainkan sebuah nomor keroncong. Sarah
Azhari, dalam kelompok orkes keroncong itu, menyanyi,”Blue blue my love is blue...” Sebuah nomor yang diaransemen ulang
dari lagu Love is Blue ciptaan Johnny
Mathis (1968).
Mengapa
Garin memilih Djaduk sebagai penata musik dan mengapa pula lagu keroncong? Djaduk, kata Garin, adalah komponis dengan
penguasaan instrumen musik yang komplet. “Ia juga besar di Yogyakarta, sehingga
paham kultur Yogyakarta,” kata Garin. Selain itu, tambah Garin, Djaduk pernah menggarap film dokumenter Dongeng Kancil Tentang Kemerdekaan, yang
juga bertutur tentang anak-anak jalanan dan menjadi sumber inspirasi Daun di Atas
Bantal.
Sementara
pemilihan keroncong, kata Garin, karena musik itu mewakili pertemuan kebudayaan
modern dan tradisional. Dan, kata Djaduk,”Musik keroncong sudah telanjur
melekat dan hidup subur di Yogyakarta, dan sudah biasa pula lagu-lagu barat dikeroncongkan.”
Berbeda
dengan penggarapan ilustrasi musik pada kebanyakan film, yang dikerjakan
setelah film selesai dibuat, penggarapan Love
is Blue yang banyak mengisi ruang
dalam Daun di Atas Bantal
dikerjakan secara live saat suting.
Begitu juga yang terjadi pada penonjolan suara saksofon yang menjadi penanda
puncak-puncak dramatik pada beberapa bagian film.”Film ini memang lebih
menonjolkan sound effect. Musiknya, sih, dibuat tipis saja,” ungkap anak bungsu
Bagong Kussudiardja itu.
Lantaran langsung
dilapangan, tak heran jika muncul beberapa spontanitas. Djaduk memang tak
canggung untuk urusan improvisasi itu. Ia justru kreatif membuat interpretasi
baru. “Pengalaman di bidang seni rupa memungkinkan saya untuk mencoba ke luar
dari kaidah-kaidah musik atau hukum-hukum musik yang ada. Biasanya, seseorang
yang mempunyai latar belakang musik secara khusus, punya ketakutan dan tidak
bebas untuk menafsirkan musik itu sendiri.Sedangkan di seni rupa, punya
kebebasan untuk menafsirwarna dan komposisi,” tutur salah seorang penggagas Musik Dua Warna itu.
Seni
rupa, juga tari dan teater, memang, menjadi dasar ekspresi pemusik otodidak
itu. Jika di seni rupa media yang digunakan adalah cat, tube, dan kuas, di
musik medianya adalah instrumen dan bunyi.”Saya bukan tipe orang yang biasa
membuat musik di studio atau mencari inspirasi dengan merenung di rumah. Saya
termasuk jenis orang yang menonton sesuatu, kemudian terkesan, setelah dirasa
tertarik maka akan dijadikan sumber inspirasi.”
Saat
pemilu lalu, misalnya, ia mendapat inspirasi membuat karya musik Orkes Sumpek saat melihat kotak-kota
suara yang berwarna-warni, yang bagi dia hanya tampak seperti kotak sulapan.
Begitu juga ketika membuat musik Kompi Susu, yang dipicu oleh pengalamannya
dipukul aparat keamanan saat menonton demonstrasi.
“Musik
Djaduk sangat menekankan unsur pembentukan suasana, kekuatan dramatis, dan hal-hal
yang menimbulkan kesan komik,” kata pengamat musik Franki Raden. Kekuatan komposisi
Djaduk, kata Franki, terletak pada kejelian dan kepekaannya dalam memanfaatkan
aspek timbre (warna suara) dari
berbagai macam instrumen perkusi (dari yang standar maupun buatan sendiri),
gamelan Bali, kendang Sunda, rebana, bedug, siter, rebab, terompet, biola,
hingga kibor.
“Di
tangan Djaduk semua perlatan itumenjadi sajian musik yang menarik dan sekaligus
mencerminkankejayaan perbendaharaan instrumen dan idiom musik etnis di
Indonesia,” ujar Franki. > imel









No comments:
Post a Comment