Keroncong Djaduk dalam Film Daun di Atas Bantal

MUSIK FILM, No 01/THN 1/September 1998


Antrean panjang pembeli tiket sempat mewarnai pemutaran film Daun di Atas Bantal garapan sutradara Garin Nugroho di dua sineplek 21, Pondok Indah Mal dan Plaza Senayan, Jakarta. Mungkin kamu termasuk di antara mereka harus kecewa lebih dulu karena kehabisan tiket, sebelum akhirnya sukses juga duduk di dalam gedung dan mendongakkan kepala ke arah layar.

Sukses pemutaran film Indonesia itu di bioskop bergengsi memang prestasi tak terdandingi. Banyak yang berpendapat film tentang potret kekerasan  terhadap anak-anak jalanan itu bagus. Tapi, sempatkah kamu, jika memang menontonnya, memperhatikan bukan saja akting hebat tiga bocah yang hidup  dengan segala cara di Jalan Malioboro, Yogyakarta, tapi juga ilustrasi musik yang dibuat oleh Djaduk Ferianto?

Djaduk dan beberapa anak muda ISI Yogyakarta, yang tampil pada pertengahan film dengan memegang alat musik masing-masing, memainkan sebuah nomor keroncong. Sarah Azhari, dalam kelompok orkes keroncong itu, menyanyi,”Blue blue my love is blue...” Sebuah nomor yang diaransemen ulang dari lagu Love is Blue ciptaan Johnny Mathis (1968).


Mengapa Garin memilih Djaduk sebagai penata musik dan mengapa pula lagu keroncong?  Djaduk, kata Garin, adalah komponis dengan penguasaan instrumen musik yang komplet. “Ia juga besar di Yogyakarta, sehingga paham kultur Yogyakarta,” kata Garin. Selain itu, tambah Garin,  Djaduk pernah menggarap film dokumenter Dongeng Kancil Tentang Kemerdekaan, yang juga bertutur tentang anak-anak jalanan dan menjadi sumber inspirasi Daun di Atas Bantal.

Sementara pemilihan keroncong, kata Garin, karena musik itu mewakili pertemuan kebudayaan modern dan tradisional. Dan, kata Djaduk,”Musik keroncong sudah telanjur melekat dan hidup subur di Yogyakarta, dan sudah biasa pula lagu-lagu barat dikeroncongkan.”

Berbeda dengan penggarapan ilustrasi musik pada kebanyakan film, yang dikerjakan setelah film selesai dibuat, penggarapan Love is Blue yang banyak mengisi ruang  dalam Daun di Atas Bantal dikerjakan secara live saat suting. Begitu juga yang terjadi pada penonjolan suara saksofon yang menjadi penanda puncak-puncak dramatik pada beberapa bagian film.”Film ini memang lebih menonjolkan sound effect. Musiknya, sih, dibuat tipis saja,” ungkap anak bungsu Bagong Kussudiardja itu.



Lantaran langsung dilapangan, tak heran jika muncul beberapa spontanitas. Djaduk memang tak canggung untuk urusan improvisasi itu. Ia justru kreatif membuat interpretasi baru. “Pengalaman di bidang seni rupa memungkinkan saya untuk mencoba ke luar dari kaidah-kaidah musik atau hukum-hukum musik yang ada. Biasanya, seseorang yang mempunyai latar belakang musik secara khusus, punya ketakutan dan tidak bebas untuk menafsirkan musik itu sendiri.Sedangkan di seni rupa, punya kebebasan untuk menafsirwarna dan komposisi,” tutur salah seorang penggagas Musik Dua Warna itu.

Seni rupa, juga tari dan teater, memang, menjadi dasar ekspresi pemusik otodidak itu. Jika di seni rupa media yang digunakan adalah cat, tube, dan kuas, di musik medianya adalah instrumen dan bunyi.”Saya bukan tipe orang yang biasa membuat musik di studio atau mencari inspirasi dengan merenung di rumah. Saya termasuk jenis orang yang menonton sesuatu, kemudian terkesan, setelah dirasa tertarik maka akan dijadikan sumber inspirasi.”

Saat pemilu lalu, misalnya, ia mendapat inspirasi membuat karya musik Orkes Sumpek saat melihat kotak-kota suara yang berwarna-warni, yang bagi dia hanya tampak seperti kotak sulapan. Begitu juga ketika membuat musik Kompi Susu, yang dipicu oleh pengalamannya dipukul aparat keamanan saat menonton demonstrasi.

“Musik Djaduk sangat menekankan unsur pembentukan suasana, kekuatan dramatis, dan hal-hal yang menimbulkan kesan komik,” kata pengamat musik Franki Raden. Kekuatan komposisi Djaduk, kata Franki, terletak pada kejelian dan kepekaannya dalam memanfaatkan aspek timbre (warna suara) dari berbagai macam instrumen perkusi (dari yang standar maupun buatan sendiri), gamelan Bali, kendang Sunda, rebana, bedug, siter, rebab, terompet, biola, hingga kibor.

“Di tangan Djaduk semua perlatan itumenjadi sajian musik yang menarik dan sekaligus mencerminkankejayaan perbendaharaan instrumen dan idiom musik etnis di Indonesia,” ujar Franki. > imel

No comments:

Post a Comment

Adbox

@templatesyard