Max Don; Pembakar Tamu Diskotek

PLAYER, No 01/THN.1/September 1998

Foto: Mila Fadliana/MuMu

Deru suara musik yang berdebum-debum itu serasa menonjok dada. Kepulan asap rokok yang membumbung dan lampu warna-warni yang berpendar-pendar seakan ikut berjoget bersama puluhan orang yang riuh di lantai dansa. Di belakang turntable system, perkakas untuk memutar piringan hitam, seorang DJ (disc jockey) tanpa henti memompakan semangat kepada para  penjoget  dengan teriakan-teriakannya yang membakar,”One..two..three..four, let us go again. Come on, come on.”

Ketika si DJ memulai scratching, menggesekkan lempengan piringan hitam dengan jarum concorde, terciptalah suara seperti mencicit-cicit –kadang juga seperti suara orang melenguh, mengerang, atau bahkan merintih sensual. Para pengunjung pun meliuk-liukkan tubuh, tenggelam dalam kenikmatan joget. Dan suasana diskotek jadi makin menggila.

“Itulah tuga utama seorang DJ,” kata Max Don, DJ berpengalaman, menjelaskan. “Dia harus sanggup membangkitkan gairah pengunjung diskotek, yang datang dengan bermacam alasan. Dia harus bisa membakar.”

Sulit dibayangkan seperti apa jadinya jika diskotek sunyi dari teriakan DJ. Suasana yang temaram bisa makin terpuruk menjadi tempat yang membosankan. Padahal, apapun latar belakangnya, orang pergi ke diskotek untuk satu tujuan; mencari keriangan.

Max Don, yang lahir di Srilangka 30 tahun lalu, sangat populer di kalangan pengunjung diskotek. Tak hanya di Jakarta, tapi juga di diskotek-diskotek seperti  Calypso Disqotheque (Surabaya), Studio East (Bandung),  Regina Palace Disqotheque (Batam),  Zig Zag Disqotheque (Ujung Pandang) The Crazy Horse Club (Yogyakarta), dan banyak lainnya.

Sebagai seorang DJ freelance, jam terbang  Max terbilang tinggi. Untuk wilayah Jakarta saja, dia kini sering tampil di Zodiak Club, Ebony Videotheque, Hailai Club, dan Fire Discotheque. Itu belum terhitung performance nya di mancanegara, seperti di Rxys Discotheque (New York), The Hippodrome (London), Nasa Discotheque (Bangkok), Julianas Tokyo (Tokyo), serta berbagai diskotek di Singapura dan Malaysia. Tentu, tak ketinggalan di tanah kelahirannya sendiri, Blue Elephant Club dan The Venue, Kolombo.

Sebenarnya, apa sih DJ itu? Yang kutahu, ada tiga macam DJ,” tutur suami  artis penyanyi Imaniar itu bersemangat. “Pertama, DJ radio (penyiar), lalu DJ video (presenter televisi), dan DJ diskotek.”

Menurut Max, di Amerika seorang DJ benar-benar dituntut profesionalitasnya. DJ radio, misalnya, bukan sekadar penyiar.Dia sekaligus juga operator. Dia mengerti perkembangan teknologi broadcasting. Dia memahami seluk-beluk industri musik, dia sendiri yang mencari sumber berita acara yang hendak disiarkannya. Tak heran jika setiap acara yang ditampilkan sangat informatif bagi pendengar. Bahkan,  tak jarang dijadikan semacam  acuan oleh produser maupun musisi.

 Lewat siaran radio itulah dapat diukur sebuah karya musik serta masa depan pasarnya. DJ televisi, yang menggunakan media audio visual, apalagi. Di samping syarat-syarat tersebut, kata Max, DJ televisi  juga harus bertampang cakep. Penampilan sangat menentukan.

Nah, untuk DJ diskotek, ada beberapa syarat tambahan. Selain pintar scratching, dia juga mesti terampil melakukan remixing. Ini pekerjaan menggabungkan dua pola ritme (beat) musik dari dua piringan hitam, yang sedang diputar, menjadi satu kesatuan yang selaras. Tujuannya agar perpindahan dari satu lagu ke lagu berikutnya – biasanya 4-5 lagu dengan beat berbeda-beda – bisa sambung menyambung tanpa henti.

Tugas seorang DJ, ujar Max, adalah mengusahakan agar  perpindahan lagu-lagu itu tidak sampai mengacaukan tempo atau ritme para pengunjung diskotek, yang sedang ternggelam dalam kenikmatan joget.

“Namun, lepas dari soal kemahiran teknis semacam itu, yang perlu  diperhatikan adalah soal personality, kepribadian,” papar Max. “Di Indonesia para DJ kayaknya belum sampai ke soal yang satu ini. Padahal, itu penting.  Seorang DJ boleh berteknik tinggi, tapi jika tidak memiliki style yang khas, dia akan mudah dilupakan orang.”



Di Amerika, menurutnya, soal personality sangat diidamkan. Wajar, karenanya,  bila performa setiap DJ selalu berbeda-beda. Dan masing-masing pengunjung diskotek punya idola sendiri-sendiri. “Nah, di Indonesia hampir semua DJ tampil dengan style yang sama. Barangkali itu pula sebabnya para DJ kita tak dapat tampil di luar negeri. DJ kita tampaknya belum punya standar  internasional,” kata putra kedua  dari tiga bersaudara itu meyakinkan.

Bila Max membandingkan keadaan DJ di Indonesia dengan di Amerika, itu bisa dimaklumi lantaran  kebetulan dia dibesarkan di sana hingga usia  sekitar 20-an. Karier pria berayah  warga Amerika kulit hitam dan ibu asal Srilanka ini sebagai  DJ diskotek dimulai dari sana.

Persisnya, dari saat ketika Max berusia 17. Waktu  itu remaja seusia dia terbentuk oleh larangan main ke diskotek.  Oleh karena itu, bersama teman-temannya di Los Angeles dia suka mengadakan sendiri acara pesta-pesta disko dari rumah ke rumah. Dari situlah dia mulai mencoba berperan sebagai DJ.

Kemampuannya melakukan scratching  pada lempengan piringan hitam, serta olah suaranya yang mampu membakar, menarik perhatian teman-temannya. Sejak itu, secara tak resmi, dia dinobatkan sebagai seorang DJ.

Max mengaku merasa beruntung dapat menemukan seorang guru yang baik. Namanya Marcolm X, DJ berkulit hitam keturunan Jamaica, yang keandalannya sudah dikenal di seluruh Amerika. “Dari Malcolm X  inilah aku belajar dengan sungguh-sungguh,” tutur Max.

“Aku sering diajak serta menemaninya main di berbagai diskotek di Amerika. Ketika aku meraih juara pertama, dia tampak bangga. Pengalaman itu tak terlupakan.”

Sejak itu sederet kompetisi diikutinya. Dengan prestasi membanggakan.  Bersamaan dengan itu kariernya  sebagai DJ diskotek terbuka lebar, namanyapun berkibar. Dia sempat main bareng dengan bintang-bintang kondang seperti La Toya Jackson, tahun 1990, di Malaysia dan Filipina, kemudian dengan Vanila Ice  (Singapura, 1990), Paula Abdul (Brunei, 1992), MC Hammer (Indonesia, 1991),  Bobby Brown (Indoesia, 1994),  Michael Jackson Concert (Singapura, 1996), Color Me Bad (Indonesia, 1997), dan Diana King (Indonesia, 1998).

Max pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia pada 1989. Dia singgah di Batam dan sempat bekerja sebagai DJ di Zoo Radio FM, sebelum akhirnya melanglang berbagai diskotek di berbagai kota. Bersama isterinya, Imaniar, kini dia menetap di Jakarta, membantu menjadi isntruktur sekolah entertainer Impro (Imaniar & Max Production), di kawasan Kayu Putih, Jakarta Timur.

Meski sering tampil di beberapa diskotek, Max Don kini sedang tekun membangun dan memekarkan pendidikan  calon entertainer yang dirancang oleh isterinya. “Yah, barangkali lewat jalan inilah  aku dapat menularkan pengalamanku sebagai DJ. Aku berharap, para DJ di Indonesia ini memiliki standar internasional, agar mereka dapat tampil di mancanegara,” ujarnya. Emir

PRESTASI

  •  Juara II Lomba Entertaining  Disc Jockey Los Angeles
  • Juara I Battle of Club DJ's
  • The Best Entertaining Club DJ's in Asia 1993
  • The Best Performance DJ's in Asia 1994
  • The Craziest Club DJ's in Asia 1995

No comments:

Post a Comment

Adbox

@templatesyard