![]() |
| Foto: Mila Fadliana/MuMu |
Deru suara musik yang berdebum-debum itu serasa menonjok dada. Kepulan asap rokok yang membumbung dan lampu warna-warni yang berpendar-pendar seakan ikut berjoget bersama puluhan orang yang riuh di lantai dansa. Di belakang turntable system, perkakas untuk memutar piringan hitam, seorang DJ (disc jockey) tanpa henti memompakan semangat kepada para penjoget dengan teriakan-teriakannya yang membakar,”One..two..three..four, let us go again. Come on, come on.”
Ketika
si DJ memulai scratching,
menggesekkan lempengan piringan hitam dengan jarum concorde, terciptalah suara seperti mencicit-cicit –kadang juga
seperti suara orang melenguh, mengerang, atau bahkan merintih sensual. Para
pengunjung pun meliuk-liukkan tubuh, tenggelam dalam kenikmatan joget. Dan
suasana diskotek jadi makin menggila.
“Itulah
tuga utama seorang DJ,” kata Max Don, DJ berpengalaman, menjelaskan. “Dia harus
sanggup membangkitkan gairah pengunjung diskotek, yang datang dengan bermacam
alasan. Dia harus bisa membakar.”
Sulit
dibayangkan seperti apa jadinya jika diskotek sunyi dari teriakan DJ. Suasana
yang temaram bisa makin terpuruk menjadi tempat yang membosankan. Padahal,
apapun latar belakangnya, orang pergi ke diskotek untuk satu tujuan; mencari
keriangan.
Max Don,
yang lahir di Srilangka 30 tahun lalu, sangat populer di kalangan pengunjung
diskotek. Tak hanya di Jakarta, tapi juga di diskotek-diskotek seperti Calypso Disqotheque (Surabaya), Studio East
(Bandung), Regina Palace Disqotheque
(Batam), Zig Zag Disqotheque (Ujung
Pandang) The Crazy Horse Club (Yogyakarta), dan banyak lainnya.
Sebagai
seorang DJ freelance, jam
terbang Max terbilang tinggi. Untuk
wilayah Jakarta saja, dia kini sering tampil di Zodiak Club, Ebony Videotheque,
Hailai Club, dan Fire Discotheque. Itu belum terhitung performance nya di
mancanegara, seperti di Rxys Discotheque (New York), The Hippodrome (London),
Nasa Discotheque (Bangkok), Julianas Tokyo (Tokyo), serta berbagai diskotek di
Singapura dan Malaysia. Tentu, tak ketinggalan di tanah kelahirannya sendiri,
Blue Elephant Club dan The Venue, Kolombo.
Sebenarnya,
apa sih DJ itu? Yang kutahu, ada tiga macam DJ,” tutur suami artis penyanyi Imaniar itu bersemangat. “Pertama,
DJ radio (penyiar), lalu DJ video (presenter televisi), dan DJ diskotek.”
Menurut Max, di Amerika seorang DJ benar-benar dituntut profesionalitasnya. DJ radio, misalnya, bukan sekadar penyiar.Dia sekaligus juga operator. Dia mengerti perkembangan teknologi broadcasting. Dia memahami seluk-beluk industri musik, dia sendiri yang mencari sumber berita acara yang hendak disiarkannya. Tak heran jika setiap acara yang ditampilkan sangat informatif bagi pendengar. Bahkan, tak jarang dijadikan semacam acuan oleh produser maupun musisi.
Lewat siaran radio itulah dapat diukur sebuah
karya musik serta masa depan pasarnya. DJ televisi, yang menggunakan media
audio visual, apalagi. Di samping syarat-syarat tersebut, kata Max, DJ televisi
juga harus bertampang cakep. Penampilan
sangat menentukan.
Nah,
untuk DJ diskotek, ada beberapa syarat tambahan. Selain pintar scratching, dia juga mesti terampil
melakukan remixing. Ini
pekerjaan menggabungkan dua pola ritme (beat)
musik dari dua piringan hitam, yang sedang diputar, menjadi satu kesatuan yang
selaras. Tujuannya agar perpindahan dari satu lagu ke lagu berikutnya –
biasanya 4-5 lagu dengan beat berbeda-beda – bisa sambung menyambung tanpa
henti.
Tugas
seorang DJ, ujar Max, adalah mengusahakan agar
perpindahan lagu-lagu itu tidak sampai mengacaukan tempo atau ritme para
pengunjung diskotek, yang sedang ternggelam dalam kenikmatan joget.
“Namun,
lepas dari soal kemahiran teknis semacam itu, yang perlu diperhatikan adalah soal personality, kepribadian,” papar Max. “Di Indonesia para DJ
kayaknya belum sampai ke soal yang satu ini. Padahal, itu penting. Seorang DJ boleh berteknik tinggi, tapi jika
tidak memiliki style yang khas, dia akan mudah dilupakan orang.”
Di
Amerika, menurutnya, soal personality sangat
diidamkan. Wajar, karenanya, bila
performa setiap DJ selalu berbeda-beda. Dan masing-masing pengunjung diskotek
punya idola sendiri-sendiri. “Nah, di Indonesia hampir semua DJ tampil dengan
style yang sama. Barangkali itu pula sebabnya para DJ kita tak dapat tampil di
luar negeri. DJ kita tampaknya belum punya standar internasional,” kata putra kedua dari tiga bersaudara itu meyakinkan.
Bila Max
membandingkan keadaan DJ di Indonesia dengan di Amerika, itu bisa dimaklumi
lantaran kebetulan dia dibesarkan di
sana hingga usia sekitar 20-an. Karier
pria berayah warga Amerika kulit hitam
dan ibu asal Srilanka ini sebagai DJ
diskotek dimulai dari sana.
Persisnya,
dari saat ketika Max berusia 17. Waktu
itu remaja seusia dia terbentuk oleh larangan main ke diskotek. Oleh karena itu, bersama teman-temannya di Los
Angeles dia suka mengadakan sendiri acara pesta-pesta disko dari rumah ke
rumah. Dari situlah dia mulai mencoba berperan sebagai DJ.
Kemampuannya melakukan scratching pada lempengan piringan hitam, serta olah suaranya yang mampu membakar, menarik perhatian teman-temannya. Sejak itu, secara tak resmi, dia dinobatkan sebagai seorang DJ.
Max
mengaku merasa beruntung dapat menemukan seorang guru yang baik. Namanya
Marcolm X, DJ berkulit hitam keturunan Jamaica, yang keandalannya sudah dikenal
di seluruh Amerika. “Dari Malcolm X
inilah aku belajar dengan sungguh-sungguh,” tutur Max.
“Aku
sering diajak serta menemaninya main di berbagai diskotek di Amerika. Ketika
aku meraih juara pertama, dia tampak bangga. Pengalaman itu tak terlupakan.”
Sejak itu sederet kompetisi diikutinya. Dengan prestasi membanggakan. Bersamaan dengan itu kariernya sebagai DJ diskotek terbuka lebar, namanyapun berkibar. Dia sempat main bareng dengan bintang-bintang kondang seperti La Toya Jackson, tahun 1990, di Malaysia dan Filipina, kemudian dengan Vanila Ice (Singapura, 1990), Paula Abdul (Brunei, 1992), MC Hammer (Indonesia, 1991), Bobby Brown (Indoesia, 1994), Michael Jackson Concert (Singapura, 1996), Color Me Bad (Indonesia, 1997), dan Diana King (Indonesia, 1998).
Max
pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia pada 1989. Dia singgah di Batam dan
sempat bekerja sebagai DJ di Zoo Radio FM, sebelum akhirnya melanglang berbagai
diskotek di berbagai kota. Bersama isterinya, Imaniar, kini dia menetap di
Jakarta, membantu menjadi isntruktur sekolah entertainer Impro (Imaniar &
Max Production), di kawasan Kayu Putih, Jakarta Timur.
Meski
sering tampil di beberapa diskotek, Max Don kini sedang tekun membangun dan
memekarkan pendidikan calon entertainer
yang dirancang oleh isterinya. “Yah, barangkali lewat jalan inilah aku dapat menularkan pengalamanku sebagai DJ.
Aku berharap, para DJ di Indonesia ini memiliki standar internasional, agar mereka
dapat tampil di mancanegara,” ujarnya. > Emir
PRESTASI
PRESTASI
- Juara II Lomba Entertaining Disc Jockey Los Angeles
- Juara I Battle of Club DJ's
- The Best Entertaining Club DJ's in Asia 1993
- The Best Performance DJ's in Asia 1994
- The Craziest Club DJ's in Asia 1995









No comments:
Post a Comment