![]() |
| rocktambulos.com |
![]() |
| Oleh: Purwanto Setiadi |
Sementara di ruang duduk ada yang sedang mengajar dan pekerjaan rutin di rumah selesai, selalu menyenangkan mendengarkan lagi karya-karya yang pernah, sampai 3-4 tahun lalu, menjadi bagian dari koleksi musik. Sambil menunggu kesempatan untuk bisa keluar rumah sebentar, bolehlah memutar album "The Principle of Moments” ini. Kebetulan “Big Log”, salah satu lagunya, tiba-tiba terdengar di kepala.
Sedikit cerita: setelah Led Zeppelin berakhir, Robert Plant bisa dibilang sudah tahu persis ke arah mana hendak melanjutkan kariernya; dia tak mau lagi hanya dikenal sebagai “mantan vokalis Zeppelin”.
Tersebab oleh itulah dia memilih tak melanjutkan proyeknya dengan Jimmy Page lewat “Walking Into Clarksdale”. Setelah album kolaborasi pertama mereka pasca-Zeppelin ini dirilis, 1998, sebetulnya sudah ada jadwal tur. Tapi, itu tadi, Plant mengundurkan diri. Alasan “resmi” langkah ini, dalam kata-katanya, adalah dia “tak tahu berapa banyak lagi musim semi di Inggris yang tak bakal kulihat”.
Memang sempat ada proyek lain, di antaranya The Honeydrippers (1984) dan ketika mereka bersedia memenuhi undangan MTV untuk tampil dalam program “Unplugged” (1994). Tapi Plant sudah teguh di jalannya; proyek ini jalan barangkali hanya demi mengukur karier tetap mengapung. Dan dalam karier solonya dia memang secara sadar mengambil jarak dengan apa yang sudah dibuat dan dicapai Zeppelin.
Jika yang mau dilihat adalah pencapaian popularitas, dengan ukuran chart, lagu ini merupakan indikasinya. Dirilis sebagai single pertama dari “The Principle of Moments” (1983), lagu ini masuk ke daftar top 40 (yang pertama bagi Plant), dengan posisi tertinggi di peringkat ke-11 di single chart Inggris dan peringkat ke-20 di Billboard Hot 100 (Amerika Serikat).
Plant menggubah lagu ini bersama Robbie Blunt, gitaris yang menurut Plant bermain dengan “keanggunan yang menakjubkan”, di kediaman Roy Harper. Di Inggris, Harper adalah musikus yang dikagumi sesama musikus, walau secara komersial dia tak cukup sukses. Zeppelin, misalnya, pernah merekam sebuah lagu tentang dia berjudul “Hats off to (Roy) Harper”.
Salah satu tafsir memandang lagu ini sebagai metafora yang mistis tentang cinta yang hilang: “my love is in league with the freeway… my love is the miles and the waiting.” Dalam videonya, digambarkan Plant terdampar di pompa bensin di tengah gurun karena mesin mobilnya kepanasan—semacam perjalanan yang kandas. Gambar-gambar lanskap yang gersang, hotel yang ganjil, bar, kolam renang…membubuhkan nuansa yang bagaikan mimpi.
Dan lagu bertempo pelan dengan petikan gitar yang seperti datang dari alam merayan serta pukulan drum dengan disiplin baris-berbaris ini pun punya perjalanannya sendiri—yang tak dalam arah yang sama dengan musikusnya. Ia muncul atau terdengar di mana-mana, termasuk dalam berbagai kompilasi dan bahkan, konon, dalam game komputer. Tak ketinggalan, tentu saja, ia menjadi soundtrack kehidupan siapa saja yang mengikuti karier Plant sejak awal.
Sukses dengan album itu bukan indikasi Plant akan bertahan dengan formula serupa. Sepanjang karier solonya, dia tak pernah berhenti menyeberangi batas-batas musikal. Dan meski tak bisa diabaikan bahwa dia memang mantan vokalis Zeppelin, apa yang dicapainya sebagai artis solo sulit pula diremehkan.









No comments:
Post a Comment