Creep Menguak Takdir


Oleh: Purwanto Setiadi

Karena menilainya “terlalu muram”, tak pantas bagi pendengar yang berasal dari kalangan yang luas, seorang disc jockey di BBC Radio 1 menolak memutar Creep, sebuah single dari band baru bernama Radiohead. Keputusan untuk menutup peluang band itu disiarkan melalui radio berakibat pada angka penjualan lagunya, dan mengandaskannya ke posisi 78 di tangga lagu-lagu Inggris.


Saya tak mengetahui persis kejadian itu; saya mendengarkan Creep untuk pertama kali justru setelah mengenal Radiohead berkat High and Dry, single dari album keduanya (The Bends) yang kerap ditayangkan di MTV pada pertengahan 1990-an. Saya tak sepenuhnya bisa memahami alasan melarangnya. Sepengetahuan saya, ada lagu-lagu yang jauh lebih suram.


Dalam kenyataannya, keputusan tersebut tak juga sanggup membunuh peluang Creep untuk menjalani takdirnya, merenggut sukses. Perlahan-lahan, memang. Dimulai dari Israel, melalui seorang disc jockey di sebuah radio yang kerap memutarnya, lalu Selandia Baru, kawasan Skandinavia, dan akhirnya di Amerika Serikat. Di negeri Abang Sam inilah Creep menjumpai audiens yang paling reseptif, sebab ada kecocokan aura dengan “lagu kebangsaan” generasi x penggemar grunge, seperti Smells Like Teen Spirit (Nirvana) dan Alive (Pearl Jam).


Keberhasilan itu mendorong Radiohead mengedarkan ulang Creep pada 1993--setahun setelah rilis awal. Kali ini peruntungannya bagus: ia sanggup mencapai peringkat ketujuh di tangga lagu-lagu.



Thom Yorke, vokalis Radiohead, menggubah Creep saat masih kuliah di Exeter University menjelang akhir 1980-an. Dalam sesi latihan di studio untuk menggarap album Pablo Honey, debut Radiohead, Yorke dan kawan-kawan iseng-iseng memainkannya. Rupanya proses rekaman berlangsung tak mulus. Setelah gagal mencoba merekam lagu-lagu lain, Sean Slade dan Paul Q. Kolderie, produser rekaman album debut ini, meminta Yorke dan kawan-kawan memainkan Creep lagi. Mereka lalu merekamnya langsung. Menurut cerita, begitu lagu selesai dimainkan, aplaus meledak di dalam studio.


Kekuatan Creep, jika meminjam pendapat Guy Capuzzo, profesor teori musik dan anggota dewan redaksi Elliot Carter Studies Online, terletak pada ostinato atau riff-nya. Terdiri atas progresi akor g-b-c-cm (yang diulang-ulang sepanjang lagu), riff ini, menurut Capuzzo, dalam artikelnya yang membahas pendekatan neo-riemannian--salah satu teori musik--dalam analisis musik rock di Music Theory Spectrum (2004), secara musikal merupakan analogi dari “lirik lagunya yang obsesif, yang menggambarkan amarah yang menyakiti diri sendiri dari suatu hasrat yang sia-sia’”.


Sebetulnya, sebagian dari melodi Creep diambil dari The Air That I Breathe, sebuah lagu balada yang direkam Albert Hammond pada 1972 dan dipopulerkan The Hollies dua tahun kemudian. Hal ini mengundang gugatan, dan Radiohead kalah—mereka harus mencantumkan nama Albert Hammond dan Mike Hazlewood sebagai pencipta dan membayar royalti.


Yorke mengatakan dalam satu kesempatan pada 1993 bahwa Creep bercerita tentang seorang lelaki mabuk yang berupaya mendapatkan perhatian dari perempuan yang menjadikannya tergila-gila, dan membuatnya terus membuntuti perempuan itu ke mana pun. Pada akhirnya, lelaki ini tak punya keberanian untuk menghadapi perempuan itu dan merasa, di bawah sadar, bahwa dia adalah perempuan itu.


Kelihatannya, pengalaman personal Yorke berperan di situ: “Pada 1990-an, saya punya masalah sebagai lelaki…. Setiap pria yang memiliki sensitivitas atau suara hati terhadap jenis kelamin yang berbeda pasti punya menghadapi masalah,” katanya.


Banyak, ternyata, yang merasa terhubung atau terwakili oleh “perasaan” yang disajikan dalam Creep—melalui progresi akornya maupun, tentu saja, liriknya. Bahkan sampai bertahun-tahun setelah Creep dirilis. Sejak Creep mulai tersedia di spotify dan youtube, umpamanya, total jumlah play-nya kini melampaui satu miliar—satu orang, seperti saya, bisa memainkannya berkali-kali.


Popularitas itu justru tak sepenuhnya menggirangkan Radiohead. mereka merasa karya itu tak cukup membanggakan; mereka tampaknya jengah. Ada semacam situasi bahwa, dengan lagu itu, mereka menjual diri, atau, jika meminjam kisah seorang protagonis dalam legenda jerman, mereka menjadi semacam faust, yang menjual jiwanya kepada iblis. Mereka yang menggemari blues pasti ingat pula mitos tentang Robert Johnson yang menyerahkan jiwanya kepada iblis demi menndapatkan keterampilan bermain gitar.


Yorke dan kawan-kawan bahkan sempat menumpahkan kejengkelan terhadap Creep dalam single yang dirilis pada 1994, My Iron Lung, melalui larik: “this is our new song/just like the last one/a total waste of time”. Pada akhir 1990-an, dalam setiap konser, mereka menolak mentah-mentah untuk membawakan Creep.


Peran mereka, suka atau tidak, justru digantikan oleh musikus lain, profesional maupun amatir. Banyak yang membawakan versi masing-masing, khususnya dalam konser atau acara live. Di youtube bisa ditemukan banyak cover ini; tak sedikit pula yang bagus, misalnya penafsiran Prince, Tori Amos, Damien Rice, dan Macy Gray. Baru-baru ini saya menjumpai versi funk yang menggairahkan--tapi suasana tertekannya tetap terasa--dari Scary Pockets ini.



Sebuah lagu, jika telah menemukan frekuensi yang sama di antara audiensnya, seperti bunyi klik pada pengunci sabuk pengaman, rupanya memang akan bertahan dan menjadi penyintas.

No comments:

Post a Comment

Adbox

@templatesyard